Senin, 23 November 2015

TASBIH MEDIA BANTU UNTUK BERDZIKIR





Inovasi alat bantu berdzikir ini sudah mencapai taraf teknologi yang praktis berupa tasbih digital. Pemanfaatannya pun, insya Allah, akan semakin membantu orang untuk khusyu’ beribadah.

Berdzikir dengan menggunakan tasbih adalah sebuah ritus yang biasa ditemui dalam masyarakat muslim. Tak hanya digunakan saat meng­hitung bilangan dzikir, tasbih ternyata juga menjadi aksesori keseharian di kalangan muslim. Alat tasbih ini, yang biasa disebut tasbih saja, adalah se­macam biji-bijian terbuat dari kayu, tu­lang, atau lainnya, yang dirangkai de­ngan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji, bahkan ada juga yang lebih. Orang-orang Arab menye­but­nya subhah, misbahah, tasabih, nizham, atau alah. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al-mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), rabithah al-qulub (pengikat hati), habl al-washl (tali pencapaian), atau sauth asy-syaithan (cambuk setan).

Tentang tasbih, banyak ulama yang menulis dan membahas hukum peng­guna­an alat untuk menghitung dzikir ini. Di antaranya Al-Minhah fi as-Subhah, Al-Hawi li al-Fatawa, karya As-Suyuthi, Nuzhah al-Fikr fi Subhah adz-Dzikr, karya Al-Luknawi. Tak ada perbedaan pan­dangan mengenai hukumnya, bah­kan menurut jumhur ulama hal itu tak perlu diperselisihkan.

Sejarah Tasbih

Tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya, Tashhih ad-Du’a‘, menyebut­kan, tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800 M, orang-orang Bud­dha sudah menggunakan tasbih dalam ritusnya. Begitu juga Al-Barahimah di India, pendeta Kristen, dan rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke seluruh Asia.

Orang-orang Buddha diyakini seba­gai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan perbuatan dan ucapannya ketika sedang melaku­kan persembahyangan. Begitu juga apa yang dilakukan orang-orang Hindu di India, lalu dipraktekkan orang-orang Kristen pada Abad Pertengahan.

Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad ke-15 M dan 16 M. Dalam kitab Musahamah al-Hind dise­but­kan, orang-orang Hindu terbiasa meng­gunakan tasbih untuk menghitung ritusnya. Sehingga, menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menye­bar ke berbagai penjuru dunia.

Seorang tokoh sufi, Al-Bannan, da­lam kitabnya, Minhah Ahl al-Futuhat wa adz-Zauq, menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu se­ratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahludz dzikr wal awrad (orang yang mulazamah berdzikir dan membacanya secara rutin) menyibukkan dzikirnya dengan alat tasbih itu. Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.

Menurut riwayat, bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke-2 Hijriyyah. Ketika itu nama “tasbih” belum digunakan untuk menyebut alat peng­hitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi, yang mengutip keterangan dari gurunya di dalam kitab Taj al-‘A’ras. Se­jak masa itu tasbih mulai banyak diper­gunakan orang di mana-mana.

Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya kepada seorang waliyullah yang bernama Al-Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana termaktub dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyiriyyah, “Apakah orang semulia Anda mau memegang tasbih?”

Al-Junaid menjawab, “Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT tidak akan kutinggalkan.”

Sejak abad ke-5 Hijriyyah pengguna­an tasbih makin meluas di kalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanita­nya yang tekun beribadah. Tidak ada be­rita riwayat, baik yang berasal dari kaum salaf maupun dari kaum khalaf (generasi muslimin berikutnya), yang menyebut­kan adanya larangan penggunaan tas­bih, dan tidak ada pula yang meman­dang penggunaan tasbih sebagai per­buatan munkar.

Kayu Kokka

Seiring dengan perkembangan alat penghitung dzikir ini, inovasi demi ino­vasi yang dilakukan para pengrajin pem­buat alat tasbih semakin beragam. Jika pada masa lalu alat tasbih mengguna­kan kerikil dan benang yang dipintal, pada masa berikutnya alat tasbih ini ba­nyak diproduksi dari bahan baku kayu atau tulang ikan. Salah satu bahan baku yang terkenal dalam kerajinan tasbih ini adalah kayu kokka. Biasanya yang di­gunakan untuk pembuatan biji-biji tasbih ini adalah buah dari pohon tersebut.

Kaukah atau kokka, atau juga dise­but pokah, adalah sejenis kayu yang pa­ling terkenal digunakan untuk membuat biji-biji tasbih di Timur Tengah. Kokka adalah salah satu kayu yang sangat tua riwayatnya. Konon, Nabi Nuh AS mem­buat perahu dengan bahan dari kayu ini. Begitu pun dengan Nabi Musa AS, de­ngan tongkatnya yang terbuat dari kayu kokka, ia diberikan kemu’jizatan me­lawan penyihir Fira’un. Beberapa nabi lainnya juga diriwayatkan menggunakan kayu kokka dalam perjalanan dakwah­nya.

Menilik sejarahnya, citra kayu ini pun men­jadi “sakral” di mata para kaum sufi dan tarekat, sehingga dalam amaliyah iba­dah dzikir kaum sufi dikenal tasbih yang terbuat dari kayu kokka ini. Jangan heran bila sampai sekarang banyak yang mencarinya untuk dibuat berbagai per­lengkapan aksesori keagamaan mau­pun karya seni, baik sebagai tasbih, cendera­mata ala Timur Tengah, maupun lainnya.

Pohon kokka banyak tumbuh di da­lam hutan negeri Arab non-gurun, Turki, Nigeria, Iran, Mesir, India, dan Afghanis­tan. Pohon ini sejenis tanaman hutan yang tumbuh liar, berada di antara se­mak-semak belukar, tumbuh sepanjang tahun, dan tersebar di seluruh daerah tropika.

Tahun 77-78 SM, Dioscorides me­nye­but tanaman ini sebagai cyperus, me­nyerupai kemenyan, pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Ta­naman ini banyak dibudidayakan di Asia bagian selatan, khususnya di India, Iran, Nigeria, dan Mesir.

Di tengah kelangkaannya dan diburu orang masa kini, sangatlah wajar jika perkakas keagamaan seperti alat tasbih dari kayu kokka terbilang mahal. Namun bagi mereka yang memfokuskan pada penggunaannya, alat tasbih dari plastik maupun kayu biasa, yang jauh lebih murah, itu sudah cukup.

Hukum Berdzikir Menggunakan Tasbih

Dalam beberapa amalan dzikir, ada yang ditentukan bilangannya. Seperti se­habis shalat wajib disunnahkan mem­baca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan La Ilaha illallah 100 kali. Demikian pula, amalan-amalan rutin yang termaktub dalam ratib maupun wirid, ada ketentuan bilangan yang jum­lahnya bahkan mencapai ratusan. Apa­lagi jika seseorang yang punya ikatan (bai’at) dalam sebuah tarekat tertentu, ada amalan-amalan yang mesti dibaca secara rutin dengan jumlah bilangan hing­ga ribuan kali. Nah, untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang meng­gunakan tasbih, agar hitungan bacaan dzikirnya terjaga dan menambah ke­khusyu’an.

Belakangan, ada sebahagian ka­lang­an yang berseberangan pandangan de­ngan tradisi dzikir dan sufi ini. Mereka mengklaim bahwa penggunaan tasbih adalah bid’ah dan menyesatkan. De­ngan dalih, hal itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan tak ada petunjuk­nya dari Rasulullah SAW. Mereka benar-benar mempermasalahkan ini sebagai ben­tuk kesesatan dalam beragama, ka­rena bertasyabbuh dengan umat lain. Be­nar­kah begitu?

Tasbih, atau subhah, atau misbahah, pemakaiannya sudah dilaksanakan dari masa Nabi SAW. Dalam sebuah hadits dijelaskan, “Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqqash dari ayahnya bahwa ia bersama Rasulullah SAW per­nah masuk ke rumah seorang perempu­an. Perempuan itu memegang biji-bijian atau kerikil yang digunakan untuk meng­hitung bacaan tasbih (Subhanallah). Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku akan memberi tahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Baca­lah Subhanallah ‘adada ma kha­laqa fis sama`, subhanallah ‘adada ma khalaqa fil ardh, subhanallah ‘adada ma khalaqa bayna dzalik, subhanallah ‘adada ma huwa khaliq, subhanallah ‘adada mistla dzalik, alhamdulillah ‘adada mistla dzalik...” (HR At-Tirmidzi).

Mengomentari hadits ini, ‘Allamah Syaikh Abi Al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim Al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntunan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki ke­utamaan yang lebih besar.

Berangkat dari pendapat ini, dapat dipahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau ke­rikil untuk mempermudah di dalam meng­hitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi tidak menyatakan perbuatan ini dilarang dan mengandung kesesatan. Oleh sebab itu, memakai tas­bih dalam berdzikir bu­kan­nya bid’ah dhalalah (hal baru yang me­nyesatkan), se­bagaimana yang ditu­duh­­kan beberapa pihak yang mengklaim ke­lom­poknya yang paling murni dalam ber­agama selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal yang menye­satkan, niscaya sejak awal Rasulullah SAW pun pasti sudah me­larang para saha­bat untuk mengguna­kannya.

Tradisi Salaf

Menggunakan biji tasbih bukan se­mata hegemoni muslim, sebagaimana disebutkan di atas. Bila ada kesamaan, bukan berarti umat Islam bertasyabbuh dengan mereka. Sebagaimana mereka memakai pakaian yang menutup aurat­nya, lalu apakah kita kaum muslimin me­makai pakaian menutup aurat lalu di­vonis ikut kepada millah (ajaran) mere­ka?

Nyatanya, dalam berbagai riwayat, tradisi berdzikir dengan alat penghitung semacam tasbih yang kita maksudkan juga terjadi di masa Rasulullah hingga tabi’in. Sebagai kelompok yang menga­ku mengikuti salaf, apakah kita me­nyang­gah riwayat-riwayat kalangan sa­habat dan tabiin berikut ini? Padahal mereka yang paling dekat dalam artian kurun waktu, yang paling mengikuti, yang dibimbing dengan petunjuk Ra­sulullah SAW.

Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad-nya meriwayatkan, seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shafiy­yah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jam ash-Shahabah bahwa Abu Shafiyyah, maula Rasulullah SAW, menghampar­kan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantung berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai shalat Zhuhur, ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari.

Abu Dawud meriwayatkan, Abu Hurairah RA mempunyai sebuah kan­tung berisi batu kerikil. Ia duduk bersim­puh di atas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita ber­kulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya.

Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan, “Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bun­delan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali.”

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Mus­nad-nya bab Zuhud mengemuka­kan, Abu Darda RA mempunyai sejum­lah biji kur­ma yang disimpan dalam kan­tung. Usai ia shalat Subuh, biji kurma itu dikeluarkan satu per satu untuk di­gunakan buat menghitung dzikir hingga habis.

Abu Syaibah juga mengatakan, Sa’ad bin Abi Waqqash RA menghitung dzikir­nya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.

Kitab Al-Manahil Al-Musalsalah, karya Syaikh Abdul Baqi, mengetengah­kan sebuah riwayat, Fathimah binti Al-Husain RA mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.

Dalam kitab Al-Kamil, Al-Mubarrad mengatakan, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas RA (w. 110 H/728 M) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia meng­hitung rakaat-rakaat shalat sun­nahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan “Dzu Nafatsat” (Pemilik Butir-butir Bebijian).

Abu Al-Qasim Ath-Thabari dalam kitab Karamah al-Awliya‘ mengatakan, “Banyak sekali orang keramat yang meng­gunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syaikh Abu Muslim Al-Khaulani.”

Kini penggunaan tasbih untuk berdzi­kir menjadi hal yang lazim dan tak perlu di­perselisihkan. Unsur kesesatan dan tasyabbuh yang dilontarkan kaum “pem­baharu” bernama Wahabi adalah kebo­hongan yang tak perlu ditanggapi lagi. Bahkan, inovasi-inovasi alat bantu ber­dzikir ini sudah mencapai taraf teknologi yang praktis berupa tasbih digital. Pe­manfaatannya pun insya Allah akan se­makin membantu orang untuk semakin khusyu’ beribadah. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar