Untuk melaksanakan dzikir didalam thariqoh ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni adab berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-’Aliyah fi al-Ma-atsir Asy-Syadzaliyahdisebutkan, pada pasal Adab adz-Dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Sya’roni, bahwa adab berdzikir itu banyak tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum bedzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir, 2(dua) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.
Adapun 5 (lima ) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
1. Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya, baik yang berupa ucapan, perbuatan, atau keinginan.
2. Mandi dan atau wudlu.
3. Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam dzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan Lailaaha illallah.
4. Menyaksikan dengan hatinya ketika sedang melaksanakan dzikir terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
5. Menyakini bahwa dzikir thariqoh yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah Saw, karena syaikhnya adalah naib (pengganti ) dari beliau.
Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan pada saat melakukan dzikir adalah;
1. Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat..
2. Meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya.
3. Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula dengan pakaian di badannya.
4. Memakai pakaian yang halal dan suci.
5. Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
6. Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dzahir, karena dengan tertutupnya indra dzahir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.
7. Membayangkan pribadi guru mursyidnya diantara kedua matanya. Dan ini menurut ulama thariqoh merupakan adab yang sangat penting.
8. Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) atau ramai (banyak orang).
9. Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan seseorang yang berdzikir akan sampai derajat ash-shidiqiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbesit di dalam hatinya (berupa kebaikan dan keburukan) kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti dia berkhianat dan akan terhalang dari fath(keterbukaan bathiniyah).
10. Memilih shighot dzikir bacaan La ilaaha illallah , karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan- bacaan dzikir syar’i lainnya.
11. Menghadirkan makna dzikir di dalam hatinya.
12. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah , agar pengaruh kata “illallah” terhujam di dalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzkir. Para ulama thariqoh berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar dari pada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
2. Mengulang-ulang pernapasannya berkali-kali. Karena hal ini – menurut ulama thariqoh- lebih cepat menyinarkan bashirah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan–bisikan hawa nafsu dan syetan.
3. Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkanhararah (rasa hangat di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq (rindu) dan tahyij (gairah) kepada al-madzkur/Allah Swt yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut.
Para guru mursyid berkata: ”Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tata krama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan hal tersebut.” Wallahu a’lam.
Sumber: https://salafytobat.wordpress.com/category/adab-berdzikir-menurut-alquran-dan-sunnah/
Rabu, 16 Desember 2015
ADAB BERDZIKIR SESUAI SUNNAH
Senin, 30 November 2015
BIJI TASBIH BUKAN BID'AH
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبى للنساء سبحن وإعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan. Dalilnya adalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضى الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبى أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
وأما التسبيح بما يجعل فى نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnyamakruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
(Kesimpulannya) jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
وأما إتخاذه من غير حاجة أو إظهاره للناس مثل تعليقه فى العنق أو جعله كالسوار فى اليد او نحو ذلك فهذا إما رياء للناس أو مظنة المراءاة ومشابهة المرائين من غير حاجة
Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.
الأول محرم
Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.
والثاني أقل أحواله الكراهة
Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.
فإن مراءاة الناس فى العبادات المختصة كالصلاة والصيام والذكر وقراءة القرآن من أعظم الذنوب
Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”.
Sumber:
Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 22, hal 506, cetakan standar.
Artikel www.ustadzaris.com
Kamis, 26 November 2015
Senin, 23 November 2015
TASBIH MEDIA BANTU UNTUK BERDZIKIR
Inovasi alat bantu berdzikir ini sudah mencapai taraf teknologi yang praktis berupa tasbih digital. Pemanfaatannya pun, insya Allah, akan semakin membantu orang untuk khusyu’ beribadah.
Berdzikir dengan menggunakan tasbih adalah sebuah ritus yang biasa ditemui dalam masyarakat muslim. Tak hanya digunakan saat menghitung bilangan dzikir, tasbih ternyata juga menjadi aksesori keseharian di kalangan muslim. Alat tasbih ini, yang biasa disebut tasbih saja, adalah semacam biji-bijian terbuat dari kayu, tulang, atau lainnya, yang dirangkai dengan benang atau tali, yang jumlahnya biasanya seratus biji, bahkan ada juga yang lebih. Orang-orang Arab menyebutnya subhah, misbahah, tasabih, nizham, atau alah. Sementara orang-orang sufi menyebutnya al-mudzakkirah billah (pengingat kepada Allah), rabithah al-qulub (pengikat hati), habl al-washl (tali pencapaian), atau sauth asy-syaithan (cambuk setan).
Tentang tasbih, banyak ulama yang menulis dan membahas hukum penggunaan alat untuk menghitung dzikir ini. Di antaranya Al-Minhah fi as-Subhah, Al-Hawi li al-Fatawa, karya As-Suyuthi, Nuzhah al-Fikr fi Subhah adz-Dzikr, karya Al-Luknawi. Tak ada perbedaan pandangan mengenai hukumnya, bahkan menurut jumhur ulama hal itu tak perlu diperselisihkan.
Sejarah Tasbih
Tasbih memiliki sejarah yang sangat panjang. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya, Tashhih ad-Du’a‘, menyebutkan, tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800 M, orang-orang Buddha sudah menggunakan tasbih dalam ritusnya. Begitu juga Al-Barahimah di India, pendeta Kristen, dan rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke seluruh Asia.
Orang-orang Buddha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan tasbih untuk menyelaraskan perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Begitu juga apa yang dilakukan orang-orang Hindu di India, lalu dipraktekkan orang-orang Kristen pada Abad Pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad ke-15 M dan 16 M. Dalam kitab Musahamah al-Hind disebutkan, orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritusnya. Sehingga, menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Seorang tokoh sufi, Al-Bannan, dalam kitabnya, Minhah Ahl al-Futuhat wa adz-Zauq, menyebutkan, penggunaan jari tangan hanya dilakukan oleh orang-orang yang dzikirnya sedikit, yaitu seratus atau yang kurang dari itu. Adapun ahludz dzikr wal awrad (orang yang mulazamah berdzikir dan membacanya secara rutin) menyibukkan dzikirnya dengan alat tasbih itu. Dan inilah hikmah penggunaan tasbih.
Menurut riwayat, bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke-2 Hijriyyah. Ketika itu nama “tasbih” belum digunakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi, yang mengutip keterangan dari gurunya di dalam kitab Taj al-‘A’ras. Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang di mana-mana.
Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya kepada seorang waliyullah yang bernama Al-Junaid Al-Baghdadi, sebagaimana termaktub dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyiriyyah, “Apakah orang semulia Anda mau memegang tasbih?”
Al-Junaid menjawab, “Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah SWT tidak akan kutinggalkan.”
Sejak abad ke-5 Hijriyyah penggunaan tasbih makin meluas di kalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum salaf maupun dari kaum khalaf (generasi muslimin berikutnya), yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar.
Kayu Kokka
Seiring dengan perkembangan alat penghitung dzikir ini, inovasi demi inovasi yang dilakukan para pengrajin pembuat alat tasbih semakin beragam. Jika pada masa lalu alat tasbih menggunakan kerikil dan benang yang dipintal, pada masa berikutnya alat tasbih ini banyak diproduksi dari bahan baku kayu atau tulang ikan. Salah satu bahan baku yang terkenal dalam kerajinan tasbih ini adalah kayu kokka. Biasanya yang digunakan untuk pembuatan biji-biji tasbih ini adalah buah dari pohon tersebut.
Kaukah atau kokka, atau juga disebut pokah, adalah sejenis kayu yang paling terkenal digunakan untuk membuat biji-biji tasbih di Timur Tengah. Kokka adalah salah satu kayu yang sangat tua riwayatnya. Konon, Nabi Nuh AS membuat perahu dengan bahan dari kayu ini. Begitu pun dengan Nabi Musa AS, dengan tongkatnya yang terbuat dari kayu kokka, ia diberikan kemu’jizatan melawan penyihir Fira’un. Beberapa nabi lainnya juga diriwayatkan menggunakan kayu kokka dalam perjalanan dakwahnya.
Menilik sejarahnya, citra kayu ini pun menjadi “sakral” di mata para kaum sufi dan tarekat, sehingga dalam amaliyah ibadah dzikir kaum sufi dikenal tasbih yang terbuat dari kayu kokka ini. Jangan heran bila sampai sekarang banyak yang mencarinya untuk dibuat berbagai perlengkapan aksesori keagamaan maupun karya seni, baik sebagai tasbih, cenderamata ala Timur Tengah, maupun lainnya.
Pohon kokka banyak tumbuh di dalam hutan negeri Arab non-gurun, Turki, Nigeria, Iran, Mesir, India, dan Afghanistan. Pohon ini sejenis tanaman hutan yang tumbuh liar, berada di antara semak-semak belukar, tumbuh sepanjang tahun, dan tersebar di seluruh daerah tropika.
Tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai cyperus, menyerupai kemenyan, pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia bagian selatan, khususnya di India, Iran, Nigeria, dan Mesir.
Di tengah kelangkaannya dan diburu orang masa kini, sangatlah wajar jika perkakas keagamaan seperti alat tasbih dari kayu kokka terbilang mahal. Namun bagi mereka yang memfokuskan pada penggunaannya, alat tasbih dari plastik maupun kayu biasa, yang jauh lebih murah, itu sudah cukup.
Hukum Berdzikir Menggunakan Tasbih
Dalam beberapa amalan dzikir, ada yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, dan La Ilaha illallah 100 kali. Demikian pula, amalan-amalan rutin yang termaktub dalam ratib maupun wirid, ada ketentuan bilangan yang jumlahnya bahkan mencapai ratusan. Apalagi jika seseorang yang punya ikatan (bai’at) dalam sebuah tarekat tertentu, ada amalan-amalan yang mesti dibaca secara rutin dengan jumlah bilangan hingga ribuan kali. Nah, untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang menggunakan tasbih, agar hitungan bacaan dzikirnya terjaga dan menambah kekhusyu’an.
Belakangan, ada sebahagian kalangan yang berseberangan pandangan dengan tradisi dzikir dan sufi ini. Mereka mengklaim bahwa penggunaan tasbih adalah bid’ah dan menyesatkan. Dengan dalih, hal itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW dan tak ada petunjuknya dari Rasulullah SAW. Mereka benar-benar mempermasalahkan ini sebagai bentuk kesesatan dalam beragama, karena bertasyabbuh dengan umat lain. Benarkah begitu?
Tasbih, atau subhah, atau misbahah, pemakaiannya sudah dilaksanakan dari masa Nabi SAW. Dalam sebuah hadits dijelaskan, “Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqqash dari ayahnya bahwa ia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih (Subhanallah). Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku akan memberi tahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah Subhanallah ‘adada ma khalaqa fis sama`, subhanallah ‘adada ma khalaqa fil ardh, subhanallah ‘adada ma khalaqa bayna dzalik, subhanallah ‘adada ma huwa khaliq, subhanallah ‘adada mistla dzalik, alhamdulillah ‘adada mistla dzalik...” (HR At-Tirmidzi).
Mengomentari hadits ini, ‘Allamah Syaikh Abi Al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim Al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntunan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang lebih besar.
Berangkat dari pendapat ini, dapat dipahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.
Ini membuktikan bahwa Nabi tidak menyatakan perbuatan ini dilarang dan mengandung kesesatan. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan), sebagaimana yang dituduhkan beberapa pihak yang mengklaim kelompoknya yang paling murni dalam beragama selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal yang menyesatkan, niscaya sejak awal Rasulullah SAW pun pasti sudah melarang para sahabat untuk menggunakannya.
Tradisi Salaf
Menggunakan biji tasbih bukan semata hegemoni muslim, sebagaimana disebutkan di atas. Bila ada kesamaan, bukan berarti umat Islam bertasyabbuh dengan mereka. Sebagaimana mereka memakai pakaian yang menutup auratnya, lalu apakah kita kaum muslimin memakai pakaian menutup aurat lalu divonis ikut kepada millah (ajaran) mereka?
Nyatanya, dalam berbagai riwayat, tradisi berdzikir dengan alat penghitung semacam tasbih yang kita maksudkan juga terjadi di masa Rasulullah hingga tabi’in. Sebagai kelompok yang mengaku mengikuti salaf, apakah kita menyanggah riwayat-riwayat kalangan sahabat dan tabiin berikut ini? Padahal mereka yang paling dekat dalam artian kurun waktu, yang paling mengikuti, yang dibimbing dengan petunjuk Rasulullah SAW.
Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad-nya meriwayatkan, seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shafiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jam ash-Shahabah bahwa Abu Shafiyyah, maula Rasulullah SAW, menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantung berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai shalat Zhuhur, ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari.
Abu Dawud meriwayatkan, Abu Hurairah RA mempunyai sebuah kantung berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh di atas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan, “Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali.”
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya bab Zuhud mengemukakan, Abu Darda RA mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantung. Usai ia shalat Subuh, biji kurma itu dikeluarkan satu per satu untuk digunakan buat menghitung dzikir hingga habis.
Abu Syaibah juga mengatakan, Sa’ad bin Abi Waqqash RA menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Kitab Al-Manahil Al-Musalsalah, karya Syaikh Abdul Baqi, mengetengahkan sebuah riwayat, Fathimah binti Al-Husain RA mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir.
Dalam kitab Al-Kamil, Al-Mubarrad mengatakan, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas RA (w. 110 H/728 M) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung rakaat-rakaat shalat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan “Dzu Nafatsat” (Pemilik Butir-butir Bebijian).
Abu Al-Qasim Ath-Thabari dalam kitab Karamah al-Awliya‘ mengatakan, “Banyak sekali orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syaikh Abu Muslim Al-Khaulani.”
Kini penggunaan tasbih untuk berdzikir menjadi hal yang lazim dan tak perlu diperselisihkan. Unsur kesesatan dan tasyabbuh yang dilontarkan kaum “pembaharu” bernama Wahabi adalah kebohongan yang tak perlu ditanggapi lagi. Bahkan, inovasi-inovasi alat bantu berdzikir ini sudah mencapai taraf teknologi yang praktis berupa tasbih digital. Pemanfaatannya pun insya Allah akan semakin membantu orang untuk semakin khusyu’ beribadah. Semoga.
HUKUM BERDZIKIR MENGGUNAKAN TASBIH & TASBIH DIGITAL
Muslimedinews.com ~ Pertanyaan: Tasbih, alat yang dibuat berdzikir sekarang beragam bentuk, mulai dari kayu, beling, bahkan yang berbentuk digital (angka). Benarkah menggunakan tasbih dalam dzikir perbuatan bid’ah? Irham, Sby
Jawaban:
Rasulullah saw bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْكُنَّ باِلتَّهْلِيْلِ وَالتَّسْبِيْحِ وَالتَّقْدِيْسِ
وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسِيَنَّ الرَّحْمَةَ وَاعْقُدْنَ بِاْلأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه أحمد رقم 27134 والطبرانى رقم 180 وأبو داود رقم 1501 والترمذى رقم 3583)
“Wahai wanita Mukminat, lakukanlah tahlil, tasbih dan taqdis. Janganlah kalian lupa, maka kalian lupa pada rahmat. Hitunglang dengan jar-jari. Sebab jari akan ditanya dan diminta jawaban” (HR Ahmad 27134, Thabrani 180, Abu Dawud 1501 dan turmudzi 3583)
Jari-jari tangan merupakan alat untuk memudahkan menghitung jumlah dzikir. namun bukan berarti menggunakan selain jari tangan tidak boleh. Sebab ada sebuah hadis:
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ فَقَالَ «سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِى الأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلهِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلُ ذَلِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلُ ذَلِكَ ». رواه ابو داود والنسائي والترمذي والطبراني فى الدعاء . (روضة المحدثين - ج 10 / ص 466) قال الحافظ ابن حجر : حسن ( نتائج الأفكار 77/1 )
“Diriwayatkan dari Sa’ad Abi Waqqash bahwa Rasulullah masuk ke (tempat) seorang wanita yang di depannya ada 4000 kerikil yang digunakannya untuk membaca Tasbih. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bacaan Tasbih….” (HR Abu Dawud, Nasai, Turmudzi dan Tabrani)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya hasan”(Raudlatul Muhadditsin 10/466). Dan disahihkan oleh al-Hakim, al-Hafidz adz-Dzahabi dan al-Hafidz as-Suyuthi
Hadis ini diperkuat oleh Atsar Abu Hurairah:
عji َنْ نُعَيْمِ بْنِ الْمُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَلاَ يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ (حلية الأولياء لابي نعيم الحلية الاولياء - ج 1 / ص 383)
“Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki tali yang terdiri dari 2000 ikatan (bundelan). Beliau tidak tidur sampai bertasbih dengannya” (Abu Nuaim, Hilyat al-Auliya’ 1/383)
Ibnu Sa’d meriwayatkan Atsar yang lain:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ الدَّيْلَمِي أَنَّ سَعْدًا كَانَ يُسَبِّحُ بِالْحَصَي (الطبقات الكبرى ج 3 / ص 143)
“Dari Hakim ad-Dailami bahwa Sa’d bin Abi Waqqash bertasbih dengan kerikil” (Thabaqat al-Kubra 3/143)
SUMBER: Muslimedinews.com